Desir angin berhembus pelan. Menciptakan ketenangan. Seorang pemuda masih terduduk di sana, menghadapi lembaran kanvas di hadapannya. Seniman itu meletakkan kuasnya, kemudian beralih menatap langit , tempat bermainnya para awan, dengan tatapan nanar.Terkadang, ia merasa ingin menyalahkan takdir, ya, semua takdir yang menyulitkannya. Membuat ia harus melepaskan seseorang yang ia sayangi.
Desir angin mulai merambat cepat, menghembus menerpa wajah pucatnya. Ia mulai goyah. Setiap kedipan matanya terasa panas. Perlahan, tubuhnya terasa lemah. Dan ia merasakan suatu cairan hangat mulai turun dari lubang hidungnya : darah..!! Mendadak pandangannya mengabur. Ia jatuh dan tak sadarkan diri.
Kanvasnya masih tegak di sana. Menggambarkan sesosok gadis cantik. Setiap garisan sosoknya yang tergambar tampak digariskan sepenuh hati. Dilukiskan dengan penuh cinta.
***********
1 Februari 2009
Ada warna di bagian kelam hatimu, sama seperti warna hidupku akhir- akhir ini yang semakin kelabu. . Logika sekali, terkadang warna bisa mengubah kita menjadi bukan diri kita sendiri.
Rendi Pratama Putra
2 Februari 2009
Jujur, bukan ini yang aku inginkan dari hubungan ini, terpanjara dalam ruang sepi dan harus terharu jika melihat orang lain berbahagia dalam indahnya regukan rasa. Bermesraan seakan tak ada suatu hal pun yang membebani.
Rendi Pratama Putra
3 Februari 2009
Aku tak tau apa yang harus ku perbuat, sementara raga ini kian rapuh, entah karena aku yang lemah, atau mungkin karena sang malaikat pencabut nyawa sudah tak sabar untuk melaksanakan tugasnya. Kini warna di kanvas kehidupanku kian kelabu, goresannya semakin memudar. Setiap goresannya sarat akan pesan kematian dan perpisahan.
Rendi Pratama Putra
4 Februari 2009
Aku takut, ruh ini akan segera berpisah dari raga yang lemah ini. Fisikku kini tak sebagus dulu lagi, aku paham, mungkin ini takdir yang harus ku jalani.
Rendi Pratama Putra
5 Februari 2009
Hari demi hari kian berlalu. Detik pun kian bergulir, menghitung detik di bulan ini ,bagaikan menghitung detak jantungku sendiri, kucoba tuk menyusun kembali kepingan kepingan asa dan semangat yang dulu aku punya, ya..dulu, sebelum 4 tahun yang lalu dokter memvonis aku mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Ya, saat itu aku merasa seperti sampah yang tak berguna. Namun aku sadar, bahwa aku masih memiliki kamu. Kamu yang selama ini menjadi lentera dalam hidupku, melukis kanvas kehidupanku dengan kuas cintamu yang penuh dengan warna.
Rendi Pratama Putra
6 Februari 2009
Sakit ini kian mempertipis dinding pertahananku. Meluruhkan seluruh harapan yang masih tersisa di diri ini.
Rendi Pratama Putra
7 Februari 2009
KIni waktuku tak banyak lagi. Sayang, sebenarnya aku ingin bercerita semua penderitaan ku ini kepadamu. Namun, aku tak mau menambah kepingan beban yang harus kau pikul. Aku tak ingin ada air mata yang keluar dari retina coklat milikmu jika aku menceritakan ini semua padamu. Cukup aku yang merasakan betapa pedihnya jalan hidup yang harus ku lalui.
Rendi Pratama Putra
8 Februari 2009
Cepat atau lambat, aku harus pergi meninggalkan mu sayang. Tapi, maaf.. mungkin caraku yang salah, esok aku harus memutuskan hubungan ini, aku gak mau kalo nanti kamu akan lebih sakit menerima kenyataan bahwa aku harus mati….
Rendi Pratama Putra
9 Februari 2009
Hari ini ku menemui mu. Awalnya, ku berniat untuk mengakhiri hubungan indah kita hari ini. Namun, senyuman khas di bibir mu itu membuat ku mengurungkan niat,. Aku tak tega jika harus menyakiti bidadari secantik kamu.
Rendi Pratama Putra
10 Februari 2009
Hari ini ku menghabiskan sisa-sisa hidupku dengan tertawa lepas bersamamu. Duduk di taman yang biasa kita kunjungi untuk melepas rindu, sambil menikmati gulali warna merah muda kesukaanmu. Sungguh, aku sangat merindukan detik-detik seperti ini. Mungkin, ini saat terakhir ku untuk bisa bahagia bersamamu.
Rendi Pratama Putra
11 Februari 2009
Ku putuskan untuk tidak menghubungi mu hari ini. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa aku harus pergi dari kamu sayang.
Rendi Pratama Putra
12 Februari 2009
Hari ini aku menemuimu. Masih dengan senyuman yang sama,kau duduk di kursi taman yang biasa kita kunjungi. Dengan pakaian berwarna merah muda, kau dengan sabar menunggu ku di situ. MUngkin, dunia telah mencap ku sebagai laki-laki terbodoh, karena dengan mudahnya aku menyakiti hati perempuan secantik dan sebaik kamu.
“ sayang, maaf aku harus mengakhiri hubungan kita, karena ada perempuan lain yang menarik perhatianku” . Dengan sombongnya aku berlari dari kamu, tanpa sedikitpun melihatmu kebelakang. Ku biarkan keegoisanku merajai segalanya, membiarkanmu menangis sendirian di kursi taman itu.
Rendi Pratama Putra
13 Februari 2009
Kamu memang sangat cantik, kenapa aku melepaskanmu? Seharusnya engkau tetap berada di sisiku dan kita akan membangun masa depan cinta dengan penuh warna.. Karena kita memang sudah berikrar setelah mengikatmu dengan 2 cincin yang di design sama dan bertuliskan nama kita berdua sebagai pengikat hubungan kita. Khayalan tingkat tinggi ini tak akan mungkin bisa terwujud, mengingat kejadian di hari kemarin.
Rendi Pratama Putra
14 Februari 2009
Semuanya kembali menjadi kepingan-kepingan warna, kabur , dan hambar. Nggak ada yang tau kalau peluiks alam sedang bingung menggoreskan kanvasnya, gambaran warna yang kontras kabur, mengecil, dan pada akhirnya akan menghilang di tiup angin malam ini. Namun, di malam valentine yang dingin ini, aku berniat untuk memberikan sebuah lukisan tentang dirimu….
Rendi Pratama Putra
**********
Vina pun menutup diary kekasih hati nya, rendi Pratama Putra. Ia mulai mengusap air matanya seraya mendekap diary kekasihnya itu. Kini ia mengerti, mengapa akhir-akhir ini sikap Rendi menjadi berubah.
Telepon di rumah Vina berdering, ia pun langsung bergegas untuk mengangkatnya “ Halo, Mbak Vina. Mbak, Mas Rendi sudah nggak ada. Dia sudah pergi meninggalkan kita semua.” Suara dari pembantu Rendy pun semakin menghancurkan perasaan Vina. Seketika itu pun tubuh Vina langsung lemas. Dia tersungkur di lantai sambil menangis, dengan buku diary kekasihnya yang masih erat di pelukannya.
**********
TPU Tanah Kusir, Jakarta……
Air mata, kesedihan, jelas tercipta di saat semua orang mengantarkan Rendi ke tampat peristirahatannya yang terakhir.Tak terkecuali Vina, bahkan ia masih terdiam berdiri di samping makam kekasihnya itu. Tiba – tiba orang tua Rendi datang, dan memberikan surat yang dititipkan oleh Rendi. Vina pun langsung membaca surat dari kekasihnya itu.
Dear Vina Sayang………
Mungkin, di saat kamu membaca surat ini, aku udah nggak ada di samping kamu. Tapi aku harap kamu jangan sedih ya.
Maaf, kemarin aku sudah menyakiti hati mu. Ketahuilah sayang, kanker otak ini, nggak bisa diajak bermain-main, senantiasa dan selalu mengambil alih setiap energy dan nutrisi yang masuk kedalam tubuhku. Padahal aku sudah sangat berusaha untuk mengobatinya,. Aku berusaha menyembunyikan ini dari mu sayang, karena aku takut kamu gundah, marah dan menjauh.
Pergi dan terbanglah sayang, masih banyak pangeran berkuda putih yang ingin merasakan getar hati yang paling dalam di dasar jiwamu. Jangan tangisi kepergianku, karena aku nggak mau melihat air mata jatuh dari pelupuk matamu, lupakan aku dari igauan mimpimu sayang.Kamu adalah cinta pertama dan cinta terakhir di hidupku, namun jangan jadikan aku sebagai cinta terakhirmu, karena jalan hidupmu masih sungguh panjang.
Aku takkan benar-benar pergi, sebelum ada seseorang yang mengucapkan ijab Kabul kepadamu dan mengikatmu dengan janji suci pernikahan
Makasih ya sayang, selama ini kau sudah mau menemaniku, dan mewarnai kanvas kehidupanku.
Aku sayang kamu……
Rendi Pratama Putra
************
Air mata Vina kini semakin membanjiri baju hitam nya itu… Ia masih tak percaya bahwa kekasihnya sudah benar benar pergi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar